Hallo selamat datang bersama mimin Tique. Hari ini kita akan membahas mengenai bootstrapping bagi pengrajin batik Kampung Laweyan Solo. Pasti melihat dari judul nya semua pada bingung apa itu bootstapping ? berikut pembahasannya.
Bootstrapping dalam
bahasa Indoensia adalah strategi
pengembangan usaha yang mana sang pendiri atau pemilik dari usaha tersebut
memilih untuk mengandalkan kekuatan internalnya.Metode ini merupakan usaha untuk membiayai
usaha kecil dengan membeli atau menggunakan sumber daya atas biaya pemilik
tanpa harus berbagi ekuitas atau meminjam uang dalam jumlah besar dari bank. Situasi
di mana seorang pengusaha memulai bisnisnya dengan modal kecil dan tidak
mengandalkan investasi (pinjam dana dengan bank) sangat susah zaman sekarang
bilamana tidak memijam uang untuk modal namun ini berbeda dengan stategi
pemasaran dari batik laweyan.
Sebagai diketahui Kampung
Batik Laweyan terletak di Jl. Dr. Rajiman No.521, Laweyan, Kecamatan Laweyan,
Kota Solo, dimana terdapat beberapa peninggalan sejarah salah satunya makam KI
Ageng Anis. Kampung Laweyan ini terkenal juga sebagai tempat penyebaran syiar
agama oleh Sunan Kalijaga. Laweyan sendiri berasal dari kata lawe yang
berarti benang dan dulu laweyan sendiri berarti salah satu pusat kerajinan
batik tulis dan cap yang di produksi secara tradisional.
Memasuki era modern,
pemerintah memperkenalkan mesin cetak pada tahun 1970 yang menyebabkan
penurunan produksi batik tulis dan cap karena banyak pengrajin memilih
menggunakan mesin untuk biaya produksi yang lebih murah. Alasan ini di pilih
karena menghasilkan produksinya lebih
banyak dibandingkan menggunakan metode pembatikan tulis dan cap secara manual,
dimana prosesnya lebih mahal dan lama. Namun dengan adanya ini membuat sebagian
banyak pengrajin batik tulis dan cap di daerah Laweyan banyak mengalami kebangkrut.
Pada Setember 2004 mulai
kembali bangkit dengan wacana mengembangkan kampung Laweyan yang menjadi salah
satu pusat pengrajin batik tulis dan cap dengan branding. Nama Kampung Batik
Laweyan ditetapkan sebagai kampung batik dan biasa disebut sebagai kluster
batik dan wisata hingga mendapatkan penghargaan dengan ditetapkan sebagai salah
satu cagar budaya di Solo.
Dalam mekanisme atau strategi penjualan yaitu menggunakan alur distribusi, dimana para pedagang Kampung Batik Laweyan hanya menguasai arus barang dan jasa serta informasi di tingkat perusahaan/pabrik/tempat kerja.Untuk pasokan bahan baku seperti malam/lilin, warna yang terbuat dari bahan baku alami (Gondorukem) mereka membeli di supplier. Dengan keadaan ini menunjukkan ketergantungan mereka terhadap pihak lainnya sangat besar di tambah bahan baku yang cukup sulit dalam persediaan nya (terbatas).
Saluran distribusi yang
digunakan oleh Kampung Batik Laweyan ada dua jenis yaitu usaha toko yang hanya
menjual pakaian jadi berbahan batik walaupun usaha jenis ini hanya merupakan
minoritas dibandingkan dengan toko yang memproduksi sekaligus menjual bahan
batik berupa baju jadi atau produk lainnya yang berasal dari kain batik.
Di tahun tersebut juga tepatnya tanggal 25 September 2004 para pelaku usaha-usaha individu produsen sekaligus penjual batik yang bertempat di Kampung Batik Laweyan mendirikan Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan (FPKBL) yang beranggotakan seluruh masyarakat. FPKBL bertujuan untuk menciptakan dan mengoptimalkan semua peluang bagi Kampoeng Laweyan agar dapat pulih dan siap menghadapi tantangan globalisasi. Setelah dibentuknya FPKBL maka menunjukkan tanda tanda kemajuan ditandai dengan banyaknya wisatawan yang datang ke Laweyan, kembali bermunculannya pengusaha-pengusaha batik tradisional hingga mencapai ratusan.
Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa FPKBL telah berhasil memberdayakan masyarakat Kampung Batik Laweyan. Tujuan dari penelitian forum ini adalah untuk mengetahui bagaimana strategi Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan (FPKBL) bertujuan untuk memberdayakan masyarakat Kampung Batik Laweyan. Pemberdayaan masyarakat Kampung Batik Laweyan menggunakan strategi penjual bermodel kemitraan . Hal ini tercermin dari upaya FPKBL, dimana setiap kegiatan selalu melibatkan peran mitra yang berbeda-beda (tergantung jenis program). Model kemitraan yang digunakan adalah Collaborative of partnership yaitu kemitraan yang terbentuk tanpa membedakan ukuran, posisi atau kekuatan mitra, namun penekanan utamanya adalah pada visi dan misi yang saling melengkapi pemberdayaan masyarakat. Banyak orang tidak mengetahui bahwa Kampung Batik Laweyan merupakan pemberdayaan masyarakat bermodel kawasan. Berikut proses strategi membangkitkan Kampung Batik Laweyan sebagai berikut
1. Pengenalan potensi daerah
2. Sosialisasi
3. Penyadaran
4. Pengorganisasian
5. Pelaksanaan kegiatan atau program
6. Membangun kemitraan
7. Implementasi strategi yang partisipatif.
Dengan cara ini dapat membuktikan
keefektifan pemberdayaan masyarakat Kampung Batik Laweyan oleh Forum
Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), yang didasarkan pada konsep-konsep
penting dalam Teori Aksi Talcot Parsons serta teori bagaimana cara pemberdayaan
masyarakat setempat dengan mengkaji secara spesifik.
Demikian untuk bahasan
hari ini mengenai Strategi dan upaya apa yang dilakukan oleh Kampung Batik
Laweyan di saat mengalami krisis hingga bangkrut namun bisa eksis hingga
sekarang. Terima kasih banyak sobat Tique, sampai jumpa kembali.